Senin, 10 November 2008

Siapa Aku


SIAPAKAH AKU?



Siapapun yang ingin menjadi pemimpin selalu dihadapkan pada pertanyaan ini. ‘Siapakah aku secara hakekat? Apa potensi hakiki yang aku miliki?. Ini merupakan pertanyaan mendasar namun agak jarang ditanyakan. Padahal jawaban atas pertanyaan ini penting karena menentukan cara seseorang berperilaku. Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah sesederhana seperti: ”Aku adalah orang Papua bernama Pieter Kawami”, atau ”Aku anak Jawa, masih turunan bangsawan”, atau ”Aku anak seorang pelacur yang tidak tahu siapakah ayahku”. Ada pula barangkali yang memberi jawaban ”Aku adalah anak petani miskin dari udik”, atau ”Aku masih keturunan ulama, ayahku sangat dihormati oleh semua orang di kampungku”, dan sebagainya. Akan tetapi jawaban atas pertanyaan itu tidak pula terlampau rumit. Bagi orang yang beragama, yang meyakini bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, atau orang yang menganut ajaran filasafat tertentu, jawaban atas pertanyaan itu tentu mudah ditemukan. Coba Simak cerita berikut:

Apapun jawaban yang diberikan oleh seseorang terhadap pertanyaan ’siapakah aku?’, yang jelas jawaban tersebut baik disadari maupun tidak, sangat menentukan bagaimana ”si aku” itu menjalani hidupnya.
Ada sebuah cerita tentang seorang petani yang menemukan sebutir telur burung rajawali di hutan. Telur itu dibawa pulang ke rumahnya dan diletakkan bersama-sama telur ayam yang sedang dierami oleh induknya. Singkat cerita, telur rajawali itu berhasil ditetaskan oleh induk ayam bersama telur-telur miliknya. Maka anak rajawali itupun hidup dibawah asuhan induk ayam bersama-sama dengan anak-anak ayam.
Suatu hari ketika si anak rajawali sedang bermain dengan saudara-saudari ”sedarahnya”, seekor rajawali melayang-layang di udara kemudian menukik dengan cepat ke arah mereka. Induk ayam segera ’membunyikan sirene’ tanda bahaya dan anak-anak ayam itu, termasuk si anak ’ayam-rajawali’ berlari dengan cepat berlindung di bawah kepak sayap induknya. Dari balik sayap induknya si anak ’ayam-rajawali’ itu mengintip dan melihat sang rajawali terbang kembali ke angkasa dengan kecepatan tinggi. Kepakan sayapnya menimbulkan getaran udara, membuat si anak ’ayam-rajawali’ itu terkesan. Ia bertanya pada ibunya: ’Bu, ayam apa itu tadi? Kelihatannya ia sangat perkasa, ya?”. ”Hush, jangan dipedulikan ’nak dan kamu harus berhati-hati”, sahut ibunya. ”Dia adalah rajawali, raja udara yang kuat dan berkuasa. Namun bila menyerang, kita makhluk ayam yang lemah ini tak berdaya menghadapinya”, lanjut si induk ayam dengan nada pasrah. Si anak ’ayam-rajawali’ itu pun mengangguk-angguk paham akan penjelasan dan nasihat ibunya.

Diangkat dari cerita klasik Anthony de Mello


Cara kita mengenali siapa kita menentukan cara kita bertindak dan berperilaku. Dari cerita di atas jelas bahwa anak rajawali yang mengira dirinya adalah ayam, benar-benar berperilaku seperti ayam, sama seperti ’saudara-saudari’-nya. Perilaku si ”ayam” dalam kisah itu tentu akan jauh berbeda apabila dia memiliki pengetahuan yang benar tentang dirinya, bahwa dia sesungguhnya adalah rajawali, bukan ayam.

Boleh jadi Kitab Suci semua agama mengajarkan kita tentang ’siapa aku?”. Namun tidak semua orang penganut agama menyadari bahwa pengetahuan itu berperan sangat penting dalam mengatur dan bahkan mengendalikan hidup kita seluruhnya. Ilmu pengetahuan juga mengajarkan kita tentang ’siapa aku’, manusia. Kedua pengetahuan itu sama-sama memberikan pengertian betapa manusia (si Aku) adalah makhluk yang luar biasa potensi kemampuannya. Persoalannya, adakah identitas ’luar biasa’ itu digunakan dalam kesadaran kita untuk mengatur kehidupan sehari-hari kita?. Kenyataan memperlihatkan bahwa kita (manusia) kurang menyadarinya atau sering mengabaikan hal itu. Bukti dari pernyataan ini teramat banyak. Coba Anda perhatikan kehidupan sosial di sekitar Anda. Sangat mudah bagi Anda menemukan banyak kasus dimana orang frustrasi dan bunuh diri karena merasa bahwa ’hidupnya tidak berarti lagi”. Ada pula yang pasrah terhadap keadaan, penderitaan, kesengsaraan, ketidak-suksesan sehingga putu asa karena salah mengenal dirinya, menganggap dirinya hanya ”seekor ayam yang lemah” dan bukannya ”seekor rajawali yang perkasa”. Mungkin Anda sebagai mahasiswa juga cenderung beranggapan demikian ketika berhadapan dengan tugas-tugas matakuliah yang bertumpuk, atau buku-buku teks yang harus dibaca, apalagi berbahasa Inggris. Mengapa kita (manusia) cenderung beranggapan atau menganggap diri tidak berdaya atau tidak mampu?


HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MENGENALI DIRI

Cara pandang atau paradigma. ’Gunakan kacamata yang tepat dan bersih!”

Perilaku setiap orang didorong oleh paradigma atau cara-pandangnya terhadap sesuatu. Cara kita memahami dan memperlakukan sesuatu bergantung kepada cara-pandang kita. Seseorang yang memiliki cara-pandang atau paradigma bahwa berjudi itu adalah dosa yang bertentangan dengan ajaran agama, sudah tentu dia tidak akan berjudi. Seseorang yang beranggapan bahwa mengikuti seminar atau pelatihan hanya membuang-buang waktu dan tidak bermanfaat, maka tentu dia tidak merasa penting mengikuti kegiatan –kegiatan pelatihan seperti pelatihan kepemimpinan ini. Jikalau orang memiliki paradigma atau cara pandang bahwa membunuh orang yang tidak sealiran agama dengannya adalah perintah Tuhan, maka dia/mereka tentu tidak akan segan-segan membunuh orang lain dengan mengatasnamakan Tuhan.

Oleh karena begitu pentingnya peran paradigma / cara pandang terhadap perilaku dan tindakan kita, maka perlu kita memiliki cara pandang yang tepat dan benar untuk memahami diri kita. Ingat kisah si ’anak ayam’ dalam cerita di atas. Simak pula cerita berikut:

Seorang petani dengan menghadapi masalah. Sapinya tidak mau makan rumput kering yang sudah dikumpulkan olehnya dengan susah payah. Saat itu musim kemarau panjang sehingga sulit mendapatkan rumput hijau. Akibatnya, sapi yang dipeliharanya nampak semakin kurus.
Suatu hari dia bertandang ke rumah temannya sesama petani yang juga memelihara sapi. Dia heran melihat sapi-sapi milik temannya nampak gemuk, tidak seperti miliknya. Petani itu menceritakan kesulitan yang dia hadapi dan meminta kesediaan temannya untuk berbagi pakan ternak khsus yang barangkali dimiliki oleh temannya itu. ”Saya tidak memiliki pakan khusus atau pakan tambahan lain. Sapi-sapi ini saya beri pakan rumput kering sama seperti yang kamu lakukan”, sahut temannya itu.
Temannya itu kemudian menyarankan agar sapi si petani tersebut dipakaikan kacamata dengan kaca berwarna hijau. Petani tersebut menuruti saran itu, karena dia percaya, temannya tidak hendak berkelakar. Ternyata benar. Sapi itu memakan rumput kering dengan lahap.

Kita juga kerap memakai ”kacamata” yang kurang pas dalam memandang diri kita. Kita sering menilai diri kita kurang cerdas, otak kita kurang ”encer”, tidak sepintar si A, yang setiap kali ditanyai oleh dosen di kelas selalu bisa menjawab. Maka kita pun bersikap kurang giat membaca karena menganggap tidak banyak manfaatnya, paling-paling yang diingat seikit, lebih banyak lupanya. Karena sejak semula kita telah beranggapan begitu (cara pandang kita terhadap diri kita begitu) maka kenyataannya memang begitu. Masih banyak contoh tentang bagaimana cara pandang kita terhadap diri kita sendiri menjadi penghambat dalam mengetahui atau mengenali potensi sesungguhnya yang kita miliki. Oleh karena itu, gunakanlah ”kacamata” yang tepat dan bersihkanlah ”kacamata” Anda setiap saat agar Anda bisa mengenali diri Anda dengan benar.


Persepsi

Ada ungkapan filosofis yang mengatakan bahwa ”fakta itu sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah persepsi”. Dalam kenyataan, pemutlakan terhadap fakta menjadi kendala dalam pengenalan diri dan pertumbuhan diri.

Fakta adalah apa adanya; persepsi individu-lah yang memberi bobot positif atau negatif. Contoh, ketika berada di dalam sebuah ruangan, seseorang kegerahan dan mengatakan bahwa suhu udara dalam ruangan itu panas. Sedangkan yang lain kelihatan tenang-tenang saja karena menilai suhu udara di ruangan itu sejuk. Termometer suhu yang terpasang di ruangan itu menunjukkan angka 22 0C. Suhu udara yang ditunjukkan oleh termometer itu adalah fakta, sedangkan penilaian orang-orang di dalam ruangan itu yang mengatakan panas atau sejuk adalah persepsi. Bagi sebagian orang (mahasiswa), tugas matakuliah yang diberikan oleh dosen setiap minggu merupakan masalah besar, sedangkan bagi yang lain dianggap peluang atau ’berkat’ karena memacu dia untuk giat belajar. Sementara sebagian lain lagi menganggap biasa-biasa saja.

Sesuatu masalah bisa berat atau bisa ringan bergantung pada cara Anda mempersepsikannya. Jika Anda mempersepsikannya sangat berat karena Anda menganggap ia berada di luar kemampuan Anda, maka Anda akan takut sendiri menghadapinya, bahkan bisa menjadikan Anda jatuh sakit. Karena itu buatlah persepsi yang positif tentang diri Anda dan potensi kemampuan Anda, agar pribadi Anda selalu memperoleh peluang untuk berkembang.


Konsep Diri atau Cermin Diri

Ini adalah akibat lanjut dari cara pandang dan persepsi yang keliru tentang diri sendiri. Konsep diri adalah cara kita memahami diri kita, namun dengan kecenderungan tidak atau kurang realistik. Manusia pada umumnya cenderung memahami atau membuat penggambaran tentang dirinya tidak sesuai dengan kenyataan pada dirinya. Dia menggambarkan dirinya tidak berdasarkan apa adanya dia, tetapi berdasarkan apa yang dia bayangkan tentang dirinya, dan apa yang dia bayangkan itu terkait dengan harapan-harapan atau keinginan-keinginan masyarakat di sekitarnya, termasuk sanak keluarganya. Jadi dia berperilaku seolah-olah dirinya, tetapi bukan dirinya yang sesungguhnya. Karena itu konsep diri yang tidak realistik ini disebut pula ”cermin diri”. Orang yang berdiri di depan cermin akan melihat ’gambar dirinya di dalam cermin, namun yang nampak itu bukan dirinya yang sesungguhnya.

Konsep diri yang tidak realistik ini membuat kita terperangkap dalam ’syndrom seolah-olah’. Kita bertindak dan berperilaku seolah-olah si A atau si B, kita meniru sikap dan perilaku si A atau si B yang kita kagumi, bukan menurut keadaan nyata diri kita sendiri. Karena itu kita sulit mengembangkan pribadi kita, sebab sikap dan perilaku yang kita jalankan itu tidak bersumber dari kenyataan diri kita sendiri. Dengan kata lain, konsep diri yang tidak realistik itu membuat kita senang memakai ’topeng’; topeng yang sesuai dengan pandangan orang-orang di sekitar kita (,topeng sosial) atau topeng yang kita sendiri buat berdasarkan anggapan atau angan-angan kita sendiri. Dari sini barangkali Anda visa mengerti mengapa manusia cenderung mencari ’kambing hitam’ atas kesalahan yang dibuatnya. Sebab tanpa disadari dia menyalahkan ’topeng sosial’ yang dipakainya itu sebagai penyebab kesalahannya.

Celakanya, apabila seseorang meyakini ’topeng sosial” yang dipakainya itu adalah dirinya sendiri. Orang seperti ini akan sulit mengubah atau mengembangkan dirinya sebab dia selalu menolak kritik atau saran yang ditujukan kepadanya. Dia sukar untuk mengubah paradigma atau cara pandang terhadap dirinya, karena menganggap cara pandangnya sudah benar.

Tanggalkan ’topeng-topeng sosial’ Anda, agar Anda bisa menjadi diri sendiri, bebas dari kepura-puraan (’syndrome seolah-olah’) yang menyiksa nurani Anda!



BAGAIMANA CARA MENGENALI DIRI?

Terdapat sekurang-kurangnya dua cara yang dapat membantu kita mengenali diri kita, yaitu :

(1) Melakukan refleksi (perenungan) pribadi.
Yang dimaksud ialah menilik kembali dan merenungkan pengalaman dan perilaku kita, serta berusaha memahami dengan seobyektif mungkin apa yang terjadi dan mengapa demikian.

(2) Mencari masukan (umpan balik) dari orang lain
Jikalau kita bersedia menerima pendapat/penilaian orang lain kepada kita, maka orang lain itu akan dapat memberi masukan yang sangat berharga berdasarkan hasil pengamatannya dan penilaian berdasarkan nuraninya terhadap diri kita.

Proses pengenalan diri yang terjadi, baik melalui perenungan pribadi, sharing dengan orang lain, maupun menerima umpan-balik dari orang lain dapat dipahami dengan mudah melalui konsep Jendela Johari (The Johari’s Windows).

Konsep Jendela Johari

Konsep ini dikembangkan oleh Joe Luft & Harry Ingham yang bertujuan membantu kita memahami pentingnya keterbukaan antar manusia dalam proses pengenalan dan pertumbuhan diri. Menurut kedua ahli psikologi ini, diri seseorang dapat diibaratkan sebuah jendela yang memiliki bidang. Gambar Tidak dapat ditampilkan


Penjelasan :

DAERAH BEBAS (TERBUKA) – menyangkut segala hal tentang diri seseorang yang diketahui dan disadari, baik oleh orang tersebut maupun orang lain. Menurut para psikolog, interaksi antar manusia yang mempunyai ”daerah bebas” yang luas adalah sangat menyenangkan, sehat dan mendalam (bermakna). Orang demikian mudah dikenal oleh orang lain dan tidak mudah tersinggung.

DAERAH TERSEMBUNYI (RAHASIA) – menyangkut hal-hal yang disadari oleh diri tetapi tidak dibagikan dengan orang lain. Jadi hal-hal itu sengaja ditutup-tutupi atau dirahasiakan.

Perlu diketahui bahwa para psikolog tidak menganjurkan agar semua rahasia peribadi dikemukakan kepada khalayak ramai. Perilaku demikian jelas merugikan diri sendiri maupun pihak lain yang terkait. Namun seseorang perlu terbuka dengan sesamanya yang dapat dipercayai, agar dia mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.

Dalam kenyataan sehari-hari, nampaknya kebanyakan orang cenderung menutupi berbagai yang tidak perlu disembunyikan tentang dirinya, karena mereka merasa rendah diri, takut dilukai, atau karena suka memegahkan diri (sombong, arogan) sehingga tidak ingin orang lain tahu kelemahannya. Justru orang yang banyak merahasiakan perasaan, pengalaman, kebutuhan, kekurangan serta harapan-harapannya adalah orang yang sulit diajak kerjasama. Orang seperti itu perlu secara sadar berupaya membuka diri.

DAERAH BUTA – menyangkut hal-hal yang diketahui oleh orang lain tetapi tidak disadari oleh diri sendiri. Hal-hal itu bisa berupa ciri-ciri yang positif maupun yang negatif.

Sebagai contoh, ada kemungkinan bahwa orang lain melihat hal-hal berikut yang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan, seperti:

• Si A cenderung menguasai diskusi dalam kelompok (suka mendominasi pembicaraan).

• Si B cenderung mengalah jika ada perbedaan pendapat tanpa memberi alasan yang mendukung pendapatnya.

• Si C mudah tersinggung.

• Si D sering memberi masukan yang berharga bagi orang lain atau kelompok.

• Si E mempunyai kemampuan untuk mengurangi ketegangan antara anggota kelompok.

DAERAH BAWAH SADAR – menyangkut pengaruh alam ketidaksadaran yang menurut para psikolog turut mempengaruhi perilaku kita. Misalnya, jika semasa kecil seseorang sering mendengar omongan orang lain yang menilai dia bodoh, maka tanpa disadari penilaian itu mempengaruhi dia sehingga dia menilai dirinya juga sebagai bodoh. Padahal dia cukup cerdas.

Peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan yang terjadi pada masa lampau tanpa disadari mempengaruhi cara pandang dan perilaku kita. Namun pengauh-pengaruh ketidaksadaran dalam diri seseorang akan berkurang apabila dia terbuka pada orang lain dan merasa aman dengan dirinya ditengah-tengah lingkungan sekitarnya.




HAL-HAL APA YANG PERLU DIKETAHUI TENTANG DIRI SENDIRI?

Ada banyak hal yang perlu diketahui tentang diri kita. Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa sebagai berikut :

a. Pengalaman-pengalaman penting dalam hidup. Misalnya, peristiwa-peristiwa penting, hubungan-hubungan di dalam dan di luar lingkungan keluarga yang turut membentuk kepribadian kita.
b. Bakat, kecerdasan dan minat yang dimiliki.
c. Cita-cita hidup.
d. Nilai-nilai yang dianut.
e. Kebiasaan-kebiasaan, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan.
f. Sifat-sifat pribadi.
g. Cara pandang atau pemahaman kita terhadap diri kita sendiri.


Bagaimana kebiasaan Anda, baik dalam melakukan perenungan pribadi maupun mencari umpan balik dari orang lain? Apakah Anda selalu berusaha memperluas ”DAERAH BEBAS’ Anda, dalam arti menerima diri Anda dan membuka diri terhadap masukan yang bermakna dari orang lain? Tentu Anda-lah yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan sejujur-jujurnya.
Jika Anda ingin berkembang ke arah pribadi yang lebih baik (positif), sebaiknya Anda membuat suatu rencana konkrit tentang langkah-langkah yang akan Anda ambil, tidak hanya dalam pelatihan ini melainkan juga melalui kegiatan-kegiatan di kampus dan di lingkungan pergaulan Anda. Sebaiknya Anda berjanji seperti saran Christian D. Larson yang dikutip di bawah ini :


”To give so much time to the improvement of yourself that you have no time to criticsize other. To forget mistakes of the past and press on to the greater achievment of future”

Kesulitan Mengasah Kreativitas

KESULITAN MENGASAH KREATIVITAS

Ketika harga kedelai semakin tinggi di awal tahun 2008, seorang pengusaha melakukan langkah kreatif. Untuk menggantikan kedelai yang sangat mahal, ia mencoba mengolah singkong untuk membuat berbagai produk yang biasanya berbahan dasar kedelai. Sebuah langkah cerdas yang belum pernah dilakukannya. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta, sang pengusaha berujar bahwa "kesulitan" yang menekan justru membuatnya kreatif.
Kesulitan mengasah kreativitas. Tatkala Yesus datang ke Kapernaum,
tersiarlah kabar bahwa Dia ada di rumah (ayat 2). Begitu banyak orang datang ke situ, sehingga tidak ada lagi tempat. Yang datang bukan hanya orang-orang sehat, melainkan juga orang sakit, bahkan lumpuh (ayat 3). Dan, si orang lumpuh sangat perlu bertemu Yesus! Di sinilah timbul masalah. Sungguh tak mudah membawa seorang lumpuh untuk
menembus kerumunan dan bertemu Yesus. Kesulitan yang muncul memaksa empat sahabat si lumpuh untuk berpikir dan mencari cara. Akhirnya, mereka menemukan cara terbaik-meski tak biasa-yang dapat menolong mereka mencapai tujuan. Mereka membuka atap dan menurunkan tilam tempat si lumpuh berbaring.
Dalam kehidupan sehari-hari, acap kali kita menjumpai kesulitan. Semua jalan tampaknya tertutup. Gelap dan suram. Apa yang Anda lakukan? Marah? Tidak terima? Allah ingin kita bersikap cerdas saat menghadapi kesulitan. Allah ingin kita mengelola hidup ini dengan cara-cara yang kreatif. Allah dapat menolong kita menemukan cara-cara yang tak biasa, agar dapat mengatasi kesulitan teratasi. Percayalah bahwa Dia pasti memberi kita hikmat-Nya –MZ

KESULITAN TAKKAN TERATASI JIKA KITA HANYA MENGELUH JADIKAN KESULITAN SEBAGAI SARANA UNTUK BERTUMBUH

Bacaan : Markus 2:1-12 , Yohanes 8-10
Nats: Tetapi mereka tidak dapat membawanya kepada-Nya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap di atas Yesus; sesudah terbuka mereka menurunkan tikar, tempat orang lumpuh itu terbaring (Markus 2:4)